INDUK
AKHLAK ISLAMI
MAKALAH
diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
terstruktur mata kuliah Akhlak Tasawuf Jurusan Agroteknologi
dosen pembimbing, Dr. H. Abdul Kodir, M.Ag
Penyusun :
1. Ahmad
Aliyudin 1127060006
2. Destiyanti
Nur Sartika Dewi 1127060025
3. Eko
Prastio Sundawa 1127060030
AGROTEKNOLOGI/V/A
FAKULTAS
SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Illahi Robbi karena
berkat rahmat dan hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul
“INDUK AKHLAK ISLAMI”, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata
kuliah Akhlak Tasawuf.
Kami menyadari bahwa selama penulisan
banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis
mengucapkan terima kasih kepada:
1.
Bapak
Dr. H. Abdul Kodir, M.Ag.,
selaku dosen mata kuliah yang telah membantu penulis selama menyusun makalah
ini;
2.
rekan-rekan
seangkatan yang telah memotivasi kami untuk menyelesaikan penyusunan makalah
ini;
3.
semua
pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Makalah ini bukanlah karya yang
sempurna karena masih banyak kekurangan, baik dalam hal ini maupun sistematika
dan teknik penulisannya.Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan
saran yang bersifat membangun dalam penyempurnaaan makalah ini.Semoga makalah
ini memberikan manfaat bagi kita semua.Amiin.
Bandung, Oktober 2014
Penulis
Akhlak
merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang,
sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya yang mendarah daging, maka
semua perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Dengan demikian,
baik atau buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak
islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya adalah sikap adil dalam
melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul beberapa teori
pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak pada
pertengahannya, hal ini apa yang telah Nabi sabdakan :
Artinya : “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang
pertengahan”. (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk
akhlak islami, di dalam makalah ini akan membahas apa yang dimaksud dengan
induk akhlak islami, serta ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap
adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi
sohaniah yang terdapat dalam diri manusia : akal, amarah dan anfsu syahwat.
1.
Pengertian akhlak mahmudah
Baik dalam bahasa arab disebut khair,
dalam bahasa inggris disebut good. Dalam beberapa kamus dan ensiklopedia
di peroleh pengertian baik sebagai berikut:
a.
Baik berarti sesuatu yang telah
mencapai kesempurnaan.
b.
Baik berarti yang menimbulkan
rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan persesuaian dan seterusnya.
c.
Baik berarti sesuatu yang
mempunyai nilai kebenaran atau nilai yangdiharapkan dan memberi kepuasan.
d.
Sesuatu yang dikatakan baik,
bila ia mendatangkan rahmat, memberi perasaan senang atau bahagia, bila ia
dihargai secara positif.
Jadi,
akhlakul karimah berarti tingkah laku yang terpuji yang merupakan tanda
kesempurnaan iman seseorang kepada Allah. Akhlakul karimah dilahirkan
berdasarkan sifat-sifat yang terpuji. Orang yang memiliki akhlak terpuji ini
dapat bergaul dengan masyarakat luas, karena dapat melahirkan sifat saling
tolong menolong dan menghargai sesamanya. Akhlak yang baik bukanlah semata-mata
teori yang muluk-muluk, melainkan akhlak sebagai tindak tanduk manusia yang keluar
dari hati. Akhlak yang baik merupakan sumber dari segala perbuatan yang
sewajarnya.
2. Pengertian
akhlak madzmumah
Akhlak madzmumah ialah perangai
atau tingkah laku pada tutur kata yang tercermin pada diri manusia, cenderung
melekat dalam bentuk yang tidak menyenangkan orang lain.
Dalam beberapa kamus dan ensiklopedia,
dihimpun pengertian buruk sebagai berikut:
-
Rusak atau tidak baik, jahat,
tidak menyenangkan, tidak elok, jelek.
-
Perbuatan yang tidak sopan,
kurang ajar, jahat, tidak menyenangkan.
-
Segala yang tercela, lawan
baik, lawan pantas, lawan bagus, perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma
atau agama, adat-istiadat, dan masyarakat yang berlaku.
2.1.2
Macam-macam akhlak baik dan
akhlak yang tercela
1. Macam-macam
akhlak baik
a. Bersifat
sabar
b. Bersifat
benar (istiqomah)
Benar ialah memberitahukan (menyatakan)
sesuatu yang sesuai dengan apa-apa yang terjadi, artinya sesuai dengan
kenyataan
c.
Memberi amanah
Amanah menurut bahasa
(etimologi) ialah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan (istiqomah) atau kejujuran
d.
Bersifat adil
Sesuatu dapat dikatakan adil
apabila seseorang mengambil haknya dengan cara yang benar atau memberikan
hak orang lain tanpa mengurangi haknya.
e.
Bersifat kasih sayang
Pada dasarnya sifat kasih
sayang (ar-arahman) adalah fitrah yang dianugerahkan olehAllah kepada
makhlun-Nya. Ruang lingkup ar-arahman dapat diutarakan dalam beberapa
tingkatan, yaitu:
-
Kasih sayang dalam lingkungan
keluarga.
-
Kasih sayang dalam lingkungan
tetangga dan kampung.
-
Kasih sayang dalam
lingkungan bangsa.
-
Kasih sayang dalam ingkungan
keagamaan.
f.
Bersifat hemat
Hemat (al-iqtishad) ialah
menggunakan segala sesuatu yang tersedia berupa harta benda, waktu, dan
tenaga menurut ukuran keperluan, mengambil jalan tengah, tidak kurang dan
tidak berlebihan.
g.
Bersifat berani
Syaja’ah (berani) bukanlah
semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap mental
seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.
h.
Bersifat kuat (al-Quwwah)
Al-Quwwah termasuk dalam
rangkaian fadhilah akhlakul karimah yaitu kekuatan pribadi manusia yang
meliputi: kekuatan fisik dan jasmani, kekuatan jiwa dan kekuatan akal.
i.
Bersifat malu (al-haya)
Al-Haya (malu) adalah malu
terhadap Allah dan malu kepada dirinya sendiri apabila melanggar
peraturan-peraturan Allah.
j.
Memelihara kesucian diri
(al-‘ifafah)
Menjaga diri dari segala
keburukan dan memelihara kehormatan hendaklah di lakukan setiap waktu.
k.
Menepati janji
Janji ialah suatu ketetapan
yang di buat dan disepakati oleh seseorang untuk orang lain atau dirinya
sendiri untuk di laksanakan sesuai dengan ketetapannya.
2.
Macam-macam akhlak tercela.
a.
Sifat dengki
Dengki menurut bahasa
(etimologi) berarti menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena
sesuatu yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.
b.
Sifat iri hati
Kata iri menurut bahasa
(etimologi) artinya merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain, kurang
senang melihat orang lain beruntung, cemburu dengan keberuntungan orang lain,
tidak rela apabila orang lain mendapat nikmat dan kebahagiaan.
c.
Sifat Angkuh (sombong)
Sombong yaitu menganggap
dirinya lebih dari yang lain sehingga ia berusaha menutupi dan tidak mau
mengakui kekurangan dirinya, selalu merasa lebih besar, lebih kaya, lebih
pintar, lebih dihormati, lebih mulia, dan lebih beruntung dariyang lain.
d.
Sifat Riya
Riya yaitu beramal kebaikan
karena didasarkan ingin mendapat pujian orang lain, agar dipercayai orang lain,
agar ia dicintai orang lain, karena ingin di lihat orang lain.
e.
Sifat angkuh (sombong)
Sombong yaitu menganggap
dirinya lebih dari orang lain sehingga ia berusaha mentupi dan tidak mau mengakui
kekurangan dirinya, selalu merasa lebih besar, lebih kaya, lebih pintar, lebih
dihormati, lebih mulia, dan lebih beruntung dari yang lain.
f.
Sifat riya
Riya yaitu beramal kebaikan
karena didasarkan ingin mendapat pujian dari oranglain, agar di percaya orang
lain, agar ia dicintai orang lain, karena ingin dilihat oleh orang lain.
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada
tiga perbuatan utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira
atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat).
Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil yang terdapat dalam diri
manusia, yaitu ‘aql (pemikiran), ghadab (amarah), dan nafsu
syahwat (dorongan seksual).
1. Hikmah
a. Pengertian
Hikmah
Hikmah menurut Al-Maraghi dalam
kitab Tafsirnya, sebagaimana yang dikutip oleh Masyhur Amin, yaitu perkataan
yang tepat lagi tegas yang diikuti dengan dalil-dalil yang dapat menyingkap
kebenaran dan melenyapkan keserupaan.
Sedangkan menurut Toha Jahja
Omar seperti yang dikutip oleh Hasanuddin, hikmah adalah bijaksana, artinya
meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan kitalah yang harus berpikir, berusaha,
menyusun, mengatur cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asal
tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan.
Kata hikmah mengandung tiga
unsur, yaitu:
1.
Unsur ilmu, yaitu adanya ilmu
yang shahih yang dapat memisahkanantara yang hak dan yang bathil, berikut
tentang rahasia, faedah danseluk-beluk sesuatu.
2.
Unsur jiwa, yaitu terhujamnya
ilmu tersebut kedalam jiwa yang ahlihikmah, sehingga ilmu tersebut mendarah
daging dengan sendirinya.
3.
Unsur amal perbuatan, yaitu
ilmu pengetahuannya yang terhujam kedalam jiwanya itu mampu memotivasi dirinya
untuk berbuat.Dengan perkataan lain, perbuatanya itu dimotori oleh ilmunya
yangterhujam kedalam jiwanya itu.
2. Asy
Syaja’ah
a.
Pengertian Syaja’ah
Syaja’ah dalam bahasa Arab
artinya keberanian atau keperwiraan, syaja’ah atau berani yaitu seseorang yang
dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian menerima
musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Seorang pengecut sukar
didapatkan sikap sabar dan berani.
Selain itu syaja’ah (berani)
bukanlah semata-mata berani berkelahi dimedan laga, melainkan suatu sikap
mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut
semestinya.
Syaja’ah dapat dibagi menjadi
dua macam:
a.
Asy Syaja’ah harbiyah
Yaitu keberanian yang kelihatan
atau tampak, misalnya keberanian dalam medan tempur di waktu perang.
b.
Asy Syaja’ah nafsiyah
Yaitu keberanian menghadapi
bahaya atau penderitaan di luar medan peperangan, seperti menegakkan
kebenaran.
b.
Hakikat Asy Syaja’ah
Hakikat dari keberanian itu
tidak terlepas dari keadaan-keadaansebagi berikut:
1)
Berani membenarkan yang benar
dan berani menyalahkanyang salah.
2)
Berani membela hak
milik, jiwa dan raga.
3)
Berani membela kesucian agama
dan kehormatan bangsa
3.
Iffah (Al-iffah)
a. Pengertian
Iffah (Al-iffah)
Memelihara kesucian diri
(al-iffah) adalah menjaga diri dari segalatuduhan, fitnah, dan memelihara
kehormatan hendaklah dilakukan setiapwaktu agar diri tetap berada dalam keadaan
kesucian. Hal ini dapatdilakukan muali memelihara hati (qalbu) untuk tidak
membuat rencanadan angan-angan yang buruk.
Kesucian diri terbagi ke dalam
beberapa bagian:
1)
Kesucian panca indra; (Q.S.
An-Nur [24]: 33).
2)
Kesucian jasad; (Q.S Al-Ahzab
[33]: 59).
3)
Kesucian dari memakan harta
orang lain; (Q.S An-Nisa [4]: 6).
4)
Kesucian lisan (Q.S. Al Baqarah
[2]: 273).
Dalam
berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak
yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik
(al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat
adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke dalam
akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir
dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya
berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini akan mencoba
menjawabnya
Secara
teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama,
yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (pewira atau kesatria), dan iffah (menjaga
diri dari perbutan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari
sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga
potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang
berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat
(dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan secara adil akan
menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan
menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan
menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan
demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan
potensi rohaniah yang dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini
di dalam al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu
bersikap adil. Untuk itu perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini :
Artinya
:“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Maidah :
8).
Artinya
: “Dan
apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya
dengan adil”. (QS. an-Nisa : 58).
Artinya
: “Sesungguhnya
Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum
kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan.
Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS.
an-Nahl : 90).
Ayat-ayat
tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang dihubungkan
dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan
keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat,
menjauhi perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan.
Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya
dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya. Berikut ini akan
dijelaskan ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang
terdapat dalam diri manusia :
Akal
yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah. Pemahaman tersebut pada
akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap
pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula
dengan isyarat yang terdapat dalam hadits nabi yang artinya : “Sebaik-baiknya
urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Sebaliknya
akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan
dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara
berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang
digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan
demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan
pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
2. Amarah
Amarah
yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, demikian pula amarah
yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau
hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya.
Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan menibulkan sikap pengecut.
Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama
akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam al-Qur’an
dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap
yang mampu menahan amarah. Allah berfirman yang artinya : “(Orang-orang
yang bertakwa yaitu) “Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu
lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan
(kesalahan) orang lain”. (QS. Ali ‘Imran : 134).
Pada
ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat orang yang
bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu
menafkahkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan
sempit serta mau memaafkan kesalahan orang lain.
Penggunaan
amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadits nabi yang artinya : “Orang
yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, tetapi orang yang gagah
itu adalah orang yang dapat menahan amarahnya jika marah”. (HR. Ahmad).
3. Nafsu
syahwat
Nafsu
syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah,
yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah Swt.
berfirman yang artinya : “Sesungguhnya
beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam
sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan
perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan
orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-5).
Di
dalam juga dijumpai keterangan tentang orang yang akan mendapatkan perlindungan
di hari kiamat, di antaranya adalah seorang yang diajak berbuat serong, namun
ia dapat menjaga dirinya. Teks hadits yang artinya : “Seseorang yang diajak
berbuat serong oleh seorang wanita yang mempunyai kecantikan dan martabat, lalu
ia mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang menguasai sekalian alam”. (HR.
Bukhari).
Demikian
pula nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap
melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara lemah akan
menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup.
Dengan
demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu
syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan
dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.
Dalam
perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan pula untuk
menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan berlawanan. Diketahui bahwa
sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada yang
menunjukkan kekerasan. Sifat rahman
(Maha Pengasih) dan sifat rahim
(Maha Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar (Maha Memaksa), kohhar (Maha Mengalahkan) misalnya
menunjukkan pada kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif
ini dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara
struktural sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada di bawah koordinasi sifat
adil. Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila
digunakan secara seimbang atau digunakan sesuai dengan kadar dan tempatnya.
Dengan demikian sifat adil atau seimbang menjadi koordinator dari sifat-sifat
lainnya.
Dalam
hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar dan jabbar
pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup perhitungan dan dalam
semangat kasih sayang. Demikian juga halnya Tuhan terhadap manusia.
Penerapan
sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak lebih lanjut
dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai dijelaskan
Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan: “Muktazilah telah memberikan petunjuk
dengan jelas, bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya
adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula manusia berhubungan dengan
Tuhan melalui pengrmbangan sikap adil yang dilakukannya. Manusia yang berbuat
adil adalah manusia yang meniru sifat Tuhan dan selalu dengan kepada-Nya”.
Teori
pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula dari kritik.
Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa teori
tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibnu
Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima.
Menurut para pengritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah.
Keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi
keburukan. Para pengritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan
misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir.
Demikian pula sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan
dengan sifat pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Teori
pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada
penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah dan nafsu syahwat yang digunakan
secara pertengahan. Jika teori pertengahan yang merupakan sumber akhlak
tersebut dihubungkan dengan Al-Qur’an, tampak kata-kata adil dalam al-Qur’an
digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan. Ini menunjukkan
bahwa teori pertengahan sebagai timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan
dengan ajaran Al-Qur’an. Namun demikian untuk menunjukkan contoh-contoh bentuk
perbuatan dalam hubungannya dengan teori pertengahan, Al-Qur’an tidak selamanya
menggunakan kata adil, misalnya:
·
Sikap pertengahan antara kikir dan
boros misalnya, Al-Qur’an menggunakan kata qawwama.
·
Sikap pertengahan (adil) dalam hal
menimbang, Al-Qur’an menggunakan kata al-Qisth
·
Dalam hal pengaturan volume suara
yang pertengahan dalam berdoa, Al-Qur’an menempatkannya antara tadarru’,khifah dengan al-jahr.
·
Untuk menggambarkan sikap
pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang, Al-Qur’an menggunakan kata haunamma.
·
Untuk menunjukkan sikap pertengahan
(adil) dalam memutuskan perkara, Al-Qur’an menggunakan kata al-Adl.
·
Menggambarkan keadaan pertengahan
atau yang ideal terhadap binatan semacam sapi, Al-Qur’an menggunakan kata awwanun.
·
Menggambarkan sikap antara
menyalurkan emosi dan menahannya, Al-Qur’an menggunakan kata al-Kadzimin.
Sehingga
dapat dikatakan bahwa dalam menggambarkan keadaan yang adil atau pertengahan,
Al-Qur’an jauh lebih lengkap, mendetail dan komprehensif dibandingkan yang
diberikan para folosof lainnya.
Allah berfirman dalam Al-quran:
"Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan,
memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan
permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil
pengajaran". (QS An-Nahl{16}: 90).
Dr.
Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang
berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
1. Adil
perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang
mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa
menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil.
2. Adil
dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang
menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca
keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia
hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim.
Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara
merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Allah
berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu
jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan
adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk
kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada
takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang
kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)
Keadilan
adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut
ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya.
Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa
ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia.
(Nurcholish Majid).
Akhlak secara garis besar dapat
dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlak al karimah) dan akhlak
yang buruk (al-akhlak al-mazmumah).
Secara teoritis macam-macam akhlak
tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana),
syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa
dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap
pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang
terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikitan) yang berpusat di kepala,
ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual)
yang berpusat di perut.
Oleh karena itu, dari sikap
pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat akan menimbulkan
sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah
menimbulkan akhlak yang mulia.
Abdullah, M.
Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam Persfektif
Al qur’an. Jakarta: Amazah.
Amin, Masyhur.
1980. Metode Dakwah Islami dan Beberapa
Keputusan Pemerintah tentang Aktivitas Keagamaan. Yogyakarta: Sumbangsih
Anwar, Rosihon.
2010. Akhlak Tasawuf. Bandung:
Pustaka Setia.
Djatmika, Rachmat.
1996. Sistem Etika Islam. Jakarta:
Pustaka Panji Mas
Hasanuddin. 1996. Hukum Dakwah. Jakarta : Pedoman Ilmu
Jaya
Ma’luf, Luis.____.
AlMunjid. Beirut: Al-Maktabah Al-Katulikiyah
Nata, Abudin.
2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta:
Rajawali Pers.
Sydily, Hasan.
1992. Ensiklopedi Indonesia, Edisi
Khusus. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve.
The Advanced
Learner’s.______. Dictonary of Current
English. New York: World University.
Tim Penyusun
Ensiklopedi. ______. Ensiklopedi. Semarang:
Toha Putra.
Tim Penyusun
Kampus, op.cit.,
Webster’s.
Dictonary, Twentieth Century. New York: World University.
Yasyin, Sulchan.
1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya:
Amanah.