Selasa, 18 November 2014

INDUK AKHLAK ISLAMI MAKALAH

INDUK AKHLAK ISLAMI
MAKALAH



diajukan untuk memenuhi salah satu tugas terstruktur mata kuliah Akhlak Tasawuf Jurusan Agroteknologi
dosen pembimbing, Dr. H. Abdul Kodir, M.Ag




Penyusun :
1.      Ahmad Aliyudin                              1127060006
2.      Destiyanti Nur Sartika Dewi           1127060025
3.      Eko Prastio Sundawa                       1127060030






AGROTEKNOLOGI/V/A
FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2014

KATA PENGANTAR

Puji syukur kami  panjatkan ke hadirat Illahi Robbi karena berkat rahmat dan hidayah-Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “INDUK AKHLAK ISLAMI”, makalah ini disusun untuk memenuhi salah satu tugas mata kuliah Akhlak Tasawuf.
Kami menyadari bahwa selama penulisan banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1.      Bapak Dr. H. Abdul Kodir, M.Ag., selaku dosen mata kuliah yang telah membantu penulis selama menyusun makalah ini;
2.      rekan-rekan seangkatan yang telah memotivasi kami untuk menyelesaikan penyusunan makalah ini;
3.      semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu.
Makalah ini bukanlah karya yang sempurna karena masih banyak kekurangan, baik dalam hal ini maupun sistematika dan teknik penulisannya.Oleh sebab itu, kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun dalam penyempurnaaan makalah ini.Semoga makalah ini memberikan manfaat bagi kita semua.Amiin.








Bandung, Oktober 2014



            Penulis

BAB I PENDAHULUAN

Akhlak merupakan suatu perbuatan yang telah tertanam kuat dalam jiwa seseorang, sehingga menjadi kepribadiannya. Karena sifatnya yang mendarah daging, maka semua perbuatannya dilakukan dengan mudah dan tanpa pemikiran. Dengan demikian, baik atau buruknya seseorang dilihat dari perbuatannya.
Induk akhlak islami yang akan dibahas pada makalah maksudnya adalah sikap adil dalam melakukan suatu perbuatan. Dari sikap adil tersebut akan muncul beberapa teori pertengahan, karena sebaik-baiknya perkara (perbuatan) itu terletak pada pertengahannya, hal ini apa yang telah Nabi sabdakan :
Artinya : “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Oleh karena itu, agar lebih jelasnya lagi tentang induk akhlak islami, di dalam makalah ini akan membahas apa yang dimaksud dengan induk akhlak islami, serta ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi sohaniah yang terdapat dalam diri manusia : akal, amarah dan anfsu syahwat.












BAB II PEMBAHASAN

2.1        Akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah)

2.1.1        Pengertian akhlak mahmudah dan akhlak mazmumah

1.      Pengertian akhlak mahmudah
Baik dalam bahasa arab disebut khair, dalam bahasa inggris disebut good. Dalam beberapa kamus dan ensiklopedia di peroleh pengertian baik sebagai berikut:
a.       Baik berarti sesuatu yang telah mencapai kesempurnaan. [1]
b.      Baik berarti yang menimbulkan rasa keharuan dalam kepuasan, kesenangan persesuaian dan seterusnya.[2]
c.       Baik berarti sesuatu yang mempunyai nilai kebenaran atau nilai yangdiharapkan dan memberi kepuasan.[3]
d.      Sesuatu yang dikatakan baik, bila ia mendatangkan rahmat, memberi perasaan senang atau bahagia, bila ia dihargai secara positif.[4]
Jadi, akhlakul karimah berarti tingkah laku yang terpuji yang merupakan tanda kesempurnaan iman seseorang kepada Allah. Akhlakul karimah dilahirkan berdasarkan sifat-sifat yang terpuji. Orang yang memiliki akhlak terpuji ini dapat bergaul dengan masyarakat luas, karena dapat melahirkan sifat saling tolong menolong dan menghargai sesamanya. Akhlak yang baik bukanlah semata-mata teori yang muluk-muluk, melainkan akhlak sebagai tindak tanduk manusia yang keluar dari hati. Akhlak yang baik merupakan sumber dari segala perbuatan yang sewajarnya.
2.      Pengertian akhlak madzmumah
Akhlak madzmumah ialah perangai atau tingkah laku pada tutur kata yang tercermin pada diri manusia, cenderung melekat dalam bentuk yang tidak menyenangkan orang lain.[5]
Dalam beberapa kamus dan ensiklopedia, dihimpun pengertian buruk sebagai berikut:
-          Rusak atau tidak baik, jahat, tidak menyenangkan, tidak elok, jelek. [6]
-          Perbuatan yang tidak sopan, kurang ajar, jahat, tidak menyenangkan.[7]
-          Segala yang tercela, lawan baik, lawan pantas, lawan bagus, perbuatan yang bertentangan dengan norma-norma atau agama, adat-istiadat, dan masyarakat yang berlaku.[8]
2.1.2        Macam-macam akhlak baik dan akhlak yang tercela
1.      Macam-macam akhlak baik 
a.       Bersifat sabar 
b.      Bersifat benar (istiqomah)
Benar ialah memberitahukan (menyatakan) sesuatu yang sesuai dengan apa-apa yang terjadi, artinya sesuai dengan kenyataan
c.       Memberi amanah
Amanah menurut bahasa (etimologi) ialah kesetiaan, ketulusan hati, kepercayaan (istiqomah) atau kejujuran
d.      Bersifat adil
Sesuatu dapat dikatakan adil apabila seseorang mengambil haknya dengan cara yang benar atau memberikan hak orang lain tanpa mengurangi haknya.
e.       Bersifat kasih sayang
Pada dasarnya sifat kasih sayang (ar-arahman) adalah fitrah yang dianugerahkan olehAllah kepada makhlun-Nya. Ruang lingkup ar-arahman dapat diutarakan dalam beberapa tingkatan, yaitu:
-          Kasih sayang dalam lingkungan keluarga.
-          Kasih sayang dalam lingkungan tetangga dan kampung.
-          Kasih sayang dalam lingkungan bangsa.
-          Kasih sayang dalam ingkungan keagamaan.
f.       Bersifat hemat
Hemat (al-iqtishad) ialah menggunakan segala sesuatu yang tersedia berupa harta benda, waktu, dan tenaga menurut ukuran keperluan, mengambil jalan tengah, tidak kurang dan tidak berlebihan.
g.      Bersifat berani
Syaja’ah (berani) bukanlah semata-mata berani berkelahi di medan laga, melainkan suatu sikap mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.
h.      Bersifat kuat (al-Quwwah)
Al-Quwwah termasuk dalam rangkaian fadhilah akhlakul karimah yaitu kekuatan pribadi manusia yang meliputi: kekuatan fisik dan jasmani, kekuatan jiwa dan kekuatan akal.
i.        Bersifat malu (al-haya)
Al-Haya (malu) adalah malu terhadap Allah dan malu kepada dirinya sendiri apabila melanggar peraturan-peraturan Allah.
j.        Memelihara kesucian diri (al-‘ifafah)
Menjaga diri dari segala keburukan dan memelihara kehormatan hendaklah di lakukan setiap waktu.
k.      Menepati janji
Janji ialah suatu ketetapan yang di buat dan disepakati oleh seseorang untuk orang lain atau dirinya sendiri untuk di laksanakan sesuai dengan ketetapannya.
2.      Macam-macam akhlak tercela.
a.       Sifat dengki
Dengki menurut bahasa (etimologi) berarti menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena sesuatu yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain. 
b.      Sifat iri hati
Kata iri menurut bahasa (etimologi) artinya merasa kurang senang melihat kelebihan orang lain, kurang senang melihat orang lain beruntung, cemburu dengan keberuntungan orang lain, tidak rela apabila orang lain mendapat nikmat dan kebahagiaan.
c.       Sifat Angkuh (sombong)
Sombong yaitu menganggap dirinya lebih dari yang lain sehingga ia berusaha menutupi dan tidak mau mengakui kekurangan dirinya, selalu merasa lebih besar, lebih kaya, lebih pintar, lebih dihormati, lebih mulia, dan lebih beruntung dariyang lain.
d.      Sifat Riya
Riya yaitu beramal kebaikan karena didasarkan ingin mendapat pujian orang lain, agar dipercayai orang lain, agar ia dicintai orang lain, karena ingin di lihat orang lain.
e.       Sifat angkuh (sombong)
Sombong yaitu menganggap dirinya lebih dari orang lain sehingga ia berusaha mentupi dan tidak mau mengakui kekurangan dirinya, selalu merasa lebih besar, lebih kaya, lebih pintar, lebih dihormati, lebih mulia, dan lebih beruntung dari yang lain.
f.       Sifat riya
Riya yaitu beramal kebaikan karena didasarkan ingin mendapat pujian dari oranglain, agar di percaya orang lain, agar ia dicintai orang lain, karena ingin dilihat oleh orang lain.

2.2        Macam-macam induk akhlak

Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran), ghadab (amarah), dan nafsu syahwat (dorongan seksual).

2.2.1        Pengertian Hikmah, Syaja’ah, dan Iffah

1.      Hikmah
a.       Pengertian Hikmah
Hikmah menurut Al-Maraghi dalam kitab Tafsirnya, sebagaimana yang dikutip oleh Masyhur Amin, yaitu perkataan yang tepat lagi tegas yang diikuti dengan dalil-dalil yang dapat menyingkap kebenaran dan melenyapkan keserupaan.[9]
Sedangkan menurut Toha Jahja Omar seperti yang dikutip oleh Hasanuddin, hikmah adalah bijaksana, artinya meletakkan sesuatu pada tempatnya, dan kitalah yang harus berpikir, berusaha, menyusun, mengatur cara-cara dengan menyesuaikan kepada keadaan dan zaman, asal tidak bertentangan dengan hal-hal yang dilarang oleh Tuhan.[10]
Kata hikmah mengandung tiga unsur, yaitu:
1.      Unsur ilmu, yaitu adanya ilmu yang shahih yang dapat memisahkanantara yang hak dan yang bathil, berikut tentang rahasia, faedah danseluk-beluk sesuatu.
2.      Unsur jiwa, yaitu terhujamnya ilmu tersebut kedalam jiwa yang ahlihikmah, sehingga ilmu tersebut mendarah daging dengan sendirinya.
3.      Unsur amal perbuatan, yaitu ilmu pengetahuannya yang terhujam kedalam jiwanya itu mampu memotivasi dirinya untuk berbuat.Dengan perkataan lain, perbuatanya itu dimotori oleh ilmunya yangterhujam kedalam jiwanya itu.[11]
2.      Asy Syaja’ah
a.       Pengertian Syaja’ah
Syaja’ah dalam bahasa Arab artinya keberanian atau keperwiraan, syaja’ah atau berani yaitu seseorang yang dapat bersabar terhadap sesuatu jika dalam jiwanya ada keberanian menerima musibah atau keberanian dalam mengerjakan sesuatu. Seorang pengecut sukar didapatkan sikap sabar dan berani.[12]
Selain itu syaja’ah (berani) bukanlah semata-mata berani berkelahi dimedan laga, melainkan suatu sikap mental seseorang, dapat menguasai jiwanya dan berbuat menurut semestinya.
Syaja’ah dapat dibagi menjadi dua macam:
a.       Asy Syaja’ah harbiyah
Yaitu keberanian yang kelihatan atau tampak, misalnya keberanian dalam medan tempur di waktu perang. 
b.      Asy Syaja’ah nafsiyah
Yaitu keberanian menghadapi bahaya atau penderitaan di luar medan peperangan, seperti menegakkan kebenaran.
b.      Hakikat Asy Syaja’ah
Hakikat dari keberanian itu tidak terlepas dari keadaan-keadaansebagi berikut:
1)      Berani membenarkan yang benar dan berani menyalahkanyang salah.
2)      Berani membela hak milik, jiwa dan raga.
3)      Berani membela kesucian agama dan kehormatan bangsa
3.      Iffah (Al-iffah)
a.       Pengertian Iffah (Al-iffah)
Memelihara kesucian diri (al-iffah) adalah menjaga diri dari segalatuduhan, fitnah, dan memelihara kehormatan hendaklah dilakukan setiapwaktu agar diri tetap berada dalam keadaan kesucian. Hal ini dapatdilakukan muali memelihara hati (qalbu) untuk tidak membuat rencanadan angan-angan yang buruk.[13]
Kesucian diri terbagi ke dalam beberapa bagian:
1)      Kesucian panca indra; (Q.S. An-Nur [24]: 33). 
2)      Kesucian jasad; (Q.S Al-Ahzab [33]: 59).
3)      Kesucian dari memakan harta orang lain; (Q.S An-Nisa [4]: 6).
4)      Kesucian lisan (Q.S. Al Baqarah [2]: 273).[14]

2.3        Adil sebagai induk akhlak islami

Dalam berbagai literatur tentang Ilmu Akhlak Islami, dijumpai uraian tentang akhlak yang secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlaq al-karimah), dan akhlak yang buruk (al-akhlaq al-mazmumah). Berbuat adil, jujur, sabar, pemaaf, dermawan dan amanah misalnya termasuk ke dalam akhlak yang baik. Sedangkan berbuat zalim, berdusta, pemarah, pendendam, kikir dan curang termasuk ke dalam akhlak yang buruk. Bagaimanakah terjadinya berbagai akhlak yang mulia dan tercela ini? Uraian berikut ini akan mencoba menjawabnya
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (pewira atau kesatria), dan iffah (menjaga diri dari perbutan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikiran) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut. Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah, sedangkan amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, dan nafsu syahwat yang digunakan secara adil akan menimbulkan iffah yaitu dapat memelihara diri dari perbuatan maksiat. Dengan demikian inti akhlak pada akhirnya bermuara pada sikap adil dalam mempergunakan potensi rohaniah yang dimiliki manusia. Demikian pentingnya bersikap adil ini di dalam al-Qur’an kita jumpai berbagai ayat yang menyuruh manusia agar mampu bersikap adil. Untuk itu perhatikanlah ayat-ayat di bawah ini :
Artinya :“Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada takwa”. (QS. Al-Maidah : 8).
Artinya : “Dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia hendaknya kamu menetapkannya dengan adil”. (QS. an-Nisa : 58).
Artinya : “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran”. (QS. an-Nahl : 90).
Ayat-ayat tersebut secara keseluruhan bertemakan perintah berbuat adil yang dihubungkan dengan perbuatan-perbuatan yang baik, seperti bertakwa kepada Allah, menetapkan keputusan yang bijaksana, berbuat kebajikan, memberi makan kepada kaum kerabat, menjauhi perbuatan keji dan munkar serta perbuatan yang menimbulkan permusuhan. Dengan demikian ayat tersebut dapat dipahami bahwa keadilan erat kaitannya dengan timbulnya berbagai perbuatan terpuji lainnya. Berikut ini akan dijelaskan ketiga macam induk akhlak yang muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia :
1.      Akal
Akal yang digunakan secara adil akan menimbulkan hikmah. Pemahaman tersebut pada akhirnya akan membawa kepada timbulnya teori pertengahan, yaitu bahwa sikap pertengahan sebagai pangkal timbulnya kebajikan. Pemahaman ini sejalan pula dengan isyarat yang terdapat dalam hadits nabi yang artinya : “Sebaik-baiknya urusan (perbuatan) adalah yang pertengahan”. (HR. Ahmad).
Sebaliknya akhlak yang buruk atau tercela pada dasarnya timbul disebabkan oleh penggunaan dari ketiga potensi rohaniah yang tidak adil. Akal yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap pintar busuk atau penipu; dan akal yang digunakan terlalu lemah akan menimbulkan sikap dungu atau ediot. Dengan demikian akal yang digunakan secara berlebihan atau terlalu lemah merupakan pangkal timbulnya akhlak yang tercela.
2.      Amarah
Amarah yang digunakan secara adil akan menimbulkan sikap perwira, demikian pula amarah yang digunakan terlalu berlebihan akan menimbulkan sikap membabi buta atau hantam kromo, yaitu berani tanpa memperhitungkan kebaikan dan keburukannya. Sebaliknya jika amarah digunakan terlalu lemah akan menibulkan sikap pengecut. Dengan demikian penggunaan amarah secara berlebihan atau berkurang sama-sama akan menimbulkan akhlak yang buruk. Berkenaan dengan ini di dalam al-Qur’an dijumpai ayat yang menunjukkan akhlak yang baik yang dihubungkan dengan sikap yang mampu menahan amarah. Allah berfirman yang artinya : “(Orang-orang yang bertakwa yaitu) “Orang-orang yang menafkahkan (hartanya), baik di waktu lapang maupun sempit, dan orang-orang yang menahan amarahnya dan mema'afkan (kesalahan) orang lain”. (QS. Ali ‘Imran : 134).
Pada ayat tersebut kemampuan menahan amarah dijadikan salah-satu sifat orang yang bertakwa dan disebut bersamaan dengan akhlak yang terpuji lainnya, yaitu menafkahkan sebagian hartanya, baik dalam keadaan lapang maupun dalam keadaan sempit serta mau memaafkan kesalahan orang lain.
Penggunaan amarah secara pertengahan itu sejalan pula dengan hadits nabi yang artinya : “Orang yang gagah perkasa itu bukanlah orang yang kuat tenaganya, tetapi orang yang gagah itu adalah orang yang dapat menahan amarahnya jika marah”. (HR. Ahmad).
3.      Nafsu syahwat
Nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahanlah yang akan menimbulkan sikap iffah, yaitu orang yang dapat menahan syahwat dan farjinya dari berbuat lacur. Allah Swt. berfirman yang artinya : “Sesungguhnya beruntunglah orang-orang yang beriman, (yaitu) orang-orang yang khusyu' dalam sembahyangnya, dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna, dan orang-orang yang menunaikan zakat, dan orang-orang yang menjaga kemaluannya”. (QS. Al-Mu’minun : 1-5).
Di dalam juga dijumpai keterangan tentang orang yang akan mendapatkan perlindungan di hari kiamat, di antaranya adalah seorang yang diajak berbuat serong, namun ia dapat menjaga dirinya. Teks hadits yang artinya : “Seseorang yang diajak berbuat serong oleh seorang wanita yang mempunyai kecantikan dan martabat, lalu ia mengatakan bahwa aku takut kepada Allah yang menguasai sekalian alam”. (HR. Bukhari).
Demikian pula nafsu syahwat yang digunakan secara berlebihan akan menimbulkan sikap melacur, dan jika nafsu syahwat tersebut digunakan secara lemah akan menimbulkan sikap tercela, yaitu tidak ada semangat untuk hidup.
Dengan demikian dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.
Dalam perkembangan selanjutnya teori pertengahan (adil) ini digunakan pula untuk menjelaskan berbagai sifat Tuhan yang terkesan berlawanan. Diketahui bahwa sifat-sifat Tuhan di samping ada yang menunjukkan kelembutan, juga ada yang menunjukkan kekerasan. Sifat rahman (Maha Pengasih) dan sifat rahim (Maha Penyayang) misalnya menunjukkan pada kelembutan Tuhan. Namun sifat jabbar (Maha Memaksa), kohhar (Maha Mengalahkan) misalnya menunjukkan pada kekerasan Tuhan. Sifat-sifat yang tampak saling kontradiktif ini dapat dipertemukan melalui sikap pertengahan. Dengan demikian secara struktural sifat-sifat Tuhan yang lainnya berada di bawah koordinasi sifat adil. Sifat jabbar dan kohhar akan tetap positif apabila digunakan secara seimbang atau digunakan sesuai dengan kadar dan tempatnya. Dengan demikian sifat adil atau seimbang menjadi koordinator dari sifat-sifat lainnya.
Dalam hubungan ini orang misalnya dapat menerapkan sifat kohhar dan jabbar pada anaknya, tetapi hal itu dilakukan dengan cukup perhitungan dan dalam semangat kasih sayang. Demikian juga halnya Tuhan terhadap manusia.
Penerapan sifat adil (pertengahan) Tuhan dalam hubungannya dengan akhlak lebih lanjut dapat dijumpai dalam ajaran Muktazilah. Aliran teologi ini sebagai dijelaskan Mahmud Shubhi lebih lanjut mengatakan: “Muktazilah telah memberikan petunjuk dengan jelas, bahwa seluruh perbuatan yang dilakukan Tuhan terhadap makhluk-Nya adalah dalam rangka keadilan-Nya. Demikian pula manusia berhubungan dengan Tuhan melalui pengrmbangan sikap adil yang dilakukannya. Manusia yang berbuat adil adalah manusia yang meniru sifat Tuhan dan selalu dengan kepada-Nya”.
Teori pertengahan sebagai dikembangkan di atas memang tidak luput pula dari kritik. Para peneliti bidang akhlak dalam hubungan ini mengatakan bahwa teori tengah-tengah sebagaimana dikemukakan Aristoteles dan diikuti oleh Ibnu Miskawaih dan para filosof akhlak lainnya tidak sepenuhnya dapat diterima. Menurut para pengritik, bahwa keutamaan tidak selalu berada pada titik tengah. Keutamaan sebenarnya berada pada titik yang jauhnya tidak sama dari dua sisi keburukan. Para pengritik lebih lanjut memberi contoh, bahwa sikap dermawan misalnya adalah lebih dekat kepada sikap boros dibandingkan pada sifat kikir. Demikian pula sifat berani lebih dekat kepada sifat membabi buta dibandingkan dengan sifat pengecut. Demikian seterusnya dengan sifat-sifat lainnya.
Teori pertengahan hanya terbatas pada akhlak yang dasarnya adalah bersumber pada penggunaan potensi rohaniah: akal, amarah dan nafsu syahwat yang digunakan secara pertengahan. Jika teori pertengahan yang merupakan sumber akhlak tersebut dihubungkan dengan Al-Qur’an, tampak kata-kata adil dalam al-Qur’an digunakan untuk berbagai peristiwa dan aktivitas kehidupan. Ini menunjukkan bahwa teori pertengahan sebagai timbulnya akhlak yang mulia tidak bertentangan dengan ajaran Al-Qur’an. Namun demikian untuk menunjukkan contoh-contoh bentuk perbuatan dalam hubungannya dengan teori pertengahan, Al-Qur’an tidak selamanya menggunakan kata adil, misalnya:
·         Sikap pertengahan antara kikir dan boros misalnya, Al-Qur’an menggunakan kata qawwama.
·         Sikap pertengahan (adil) dalam hal menimbang, Al-Qur’an menggunakan kata al-Qisth
·         Dalam hal pengaturan volume suara yang pertengahan dalam berdoa, Al-Qur’an menempatkannya antara tadarru’,khifah dengan al-jahr.
·         Untuk menggambarkan sikap pertengahan dalam mencintai atau membenci seseorang, Al-Qur’an menggunakan kata haunamma.
·         Untuk menunjukkan sikap pertengahan (adil) dalam memutuskan perkara, Al-Qur’an menggunakan kata al-Adl.
·         Menggambarkan keadaan pertengahan atau yang ideal terhadap binatan semacam sapi, Al-Qur’an menggunakan kata awwanun.
·         Menggambarkan sikap antara menyalurkan emosi dan menahannya, Al-Qur’an menggunakan kata al-Kadzimin.
Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam menggambarkan keadaan yang adil atau pertengahan, Al-Qur’an jauh lebih lengkap, mendetail dan komprehensif dibandingkan yang diberikan para folosof lainnya.
Allah berfirman dalam Al-quran: "Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pengajaran". (QS An-Nahl{16}: 90).
Dr. Hamzah Yakub membagi keadilan-keadilan menjadi dua bagian. Adil yang berhubungan dengan perseorangan dan adil yang berhubungan dengan kemasyarakatan.
1.      Adil perseorangan adalah tindakan memihak kepada yang mempunyai hak, bila seseorang mengambil haknya tanpa melewati batas, atau memberikan hak orang lain tanpa menguranginya itulah yang dinamakan tidak adil.
2.      Adil dalam segi kemasyarakatan dan pemerintahan misalnya tindakan hakim yang menghukum orang-orang jahat atau orang-orang yang bersengketa sepanjang neraca keadilan. Jika hakim menegakan neraca keadilanya dengan lurus dikatakanlah dia hakim yang adil dan jika dia berat sebelah maka dipandanglah dia zalim. Pemerintah dipandang adil jika dia mengusahakan kemakmuran rakyat secara merata, baik di kota-kota maupun di desa-desa.
Allah berfirman dalam Al-Quran: "Hai orang-orang yang beriman hendaklah kamu jadi orang-orang yang menegakan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap satu kaum, mendorong untuk kamu berbuat tidak adil. Berlaku adillah karena adil itu lebih dekat kepada takwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan". (Al-Maidah [5] : 8)
Keadilan adalah ketetapan Allah bagi kosmos atau alam raya ciptaan-Nya, karena menurut ajaran Islam keadilan adalah prinsip yang merupakan hukum seluruh hajat raya. Oleh karenanya melanggar keadilan adalah melanggar hukum kosmos dan dosa ketidak adilan akan mempunyai dampak kehancuran tatanan masyarakat manusia. (Nurcholish Majid).















BAB III PENUTUP

3.1         Kesimpulan

Akhlak secara garis besar dapat dibagi dua bagian, yaitu akhlak yang baik (al-akhlak al karimah) dan akhlak yang buruk (al-akhlak al-mazmumah).
Secara teoritis macam-macam akhlak tersebut berinduk kepada tiga perbuatan yang utama, yaitu hikmah (bijaksana), syaja’ah (perwira atau ksatria), dan iffah (menjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat). Ketiga macam induk akhlak ini muncul dari sikap adil, yaitu sikap pertengahan atau seimbang dalam mempergunakan ketiga potensi rohaniah yang terdapat dalam diri manusia, yaitu ‘aql (pemikitan) yang berpusat di kepala, ghadab (amarah) yang berpusat di dada, dan nafsu syahwat (dorongan seksual) yang berpusat di perut.
Oleh karena itu, dari sikap pertengahan dalam menggunakan akal, amarah, dan nafsu syahwat akan menimbulkan sikap bijaksana, perwira, dan dapat memelihara diri. Dan dari tiga sikap inilah menimbulkan akhlak yang mulia.











DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, M. Yatimin. 2007. Studi Akhlak dalam Persfektif Al qur’an. Jakarta: Amazah.
Amin, Masyhur. 1980. Metode Dakwah Islami dan Beberapa Keputusan Pemerintah tentang Aktivitas Keagamaan. Yogyakarta: Sumbangsih
Anwar, Rosihon. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia.
Djatmika, Rachmat. 1996. Sistem Etika Islam. Jakarta: Pustaka Panji Mas
Hasanuddin. 1996. Hukum Dakwah. Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya
Ma’luf, Luis.____. AlMunjid. Beirut: Al-Maktabah Al-Katulikiyah
Nata, Abudin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Rajawali Pers.
Sydily, Hasan. 1992. Ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus. Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve.
The Advanced Learner’s.______. Dictonary of Current English. New York: World University.
Tim Penyusun Ensiklopedi. ______. Ensiklopedi. Semarang: Toha Putra.
Tim Penyusun Kampus, op.cit.,
Webster’s. Dictonary, Twentieth Century. New York: World University.
Yasyin, Sulchan. 1997. Kamus Lengkap Bahasa Indonesia. Surabaya: Amanah.



[1] Luis Ma’luf, AlMunjid, (Beirut: Al-Maktabah Al-Katulikiyah, tt), hlm. 194.
[2] Webster’s. Dictonary, Twentieth Century, (New York: World University, tt) hlm. 789.
[3] The Advanced Learner’s, Dictonary of Current English, (New York: World University, tt), hlm. 430.
[4] Tim Penyusun Ensiklopedi, Ensiklopedi, (Semarang: Toha Putra), hlm. 362.
[5] Rachmat Djatmika, Sistem Etika Islam, (Jakarta: Pustaka Panji Mas, 1996), hlm.26.
[6] Tim Penyusun Kampus, op.cit., hlm. 180.
[7] Sulchan Yasyin, Kamus Lengkap Bahasa Indonesia, (Surabaya: Amanah, 1997), hlm.83.
[8] Hasan Sydily, Ensiklopedi Indonesia, Edisi Khusus, (Jakarta: Ichtiar Baru Van Houve, 1992), hlm. 556.
[9] Masyhur Amin, Metode Dakwah Islami dan Beberapa Keputusan Pemerintah tentang Aktivitas Keagamaan, (Yogyakarta: Sumbangsih, 1980). hlm. 28.
[10] Hasanuddin, Hukum Dakwah, (Jakarta : Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm.36.
[11] Hasanuddin, Hukum Dakwah (Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1996), hlm.29.
[12] Drs. M. Yatimin Abdullah, M.A. Studi Akhlak dalam Persfektif Al qur’an (Jakarta: Amazah, 2007), hlm. 42.
[13] Prod. Dr. Rosihon Anwar, M. Ag. Akhlak Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2010), hlm. 105.
[14] Ibid. hlm. 105.

Tidak ada komentar: